Saturday, December 18, 2010

KAIDAH MEMAHAMI AL QUR’AN DAN AS SUNNAH

KAIDAH MEMAHAMI AL QUR’AN DAN AS SUNNAH


فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta". [QS Thaha : 123, 124].

Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata: “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca al Qur`an dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat”.[ Tafsir ath Thabari, 16/225]
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

"Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya". [Hadits Shahih Lighairihi, HR Malik; al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13].

KENYATAAN UMAT

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah berkata: “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku beragama Islam. Mereka meyakini bahwa pedoman umat Islam adalah al Qur`an dan as Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya ;

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)". [Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya].

RUJUKAN MEMAHAMI NASH

Al Qur`an dan as Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga di antara keduanya, sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itu, cara memahami al Kitab dan as Sunnah ialah dengan nash-nash al Kitab dan as Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.

Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan al Qur`an sebagai berikut:
- Menafsirkan al Qur`an dengan al Qur`an.
- Menafsirkan al Qur`an dengan as Sunnah.
- Menafsirkan al Qur`an dengan perkataan-perkataan para sahabat.
- Menafsirkan al Qur`an dengan perkataan-perkataan para tabi’in.
- Menafsirkan al Qur`an dengan bahasa al Qur`an dan as Sunnah, atau keumumam bahasa Arab.
Al Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan al Qur`an ialah
  1. Al Qur`an ditafsirkan dengan al Qur`an. Karena apa yang disebutkan oleh al Qur`an secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam al Qur`an secara luas di tempat yang lain.
  2. Jika hal itu menyusahkanmu, maka engkau wajib meruju` kepada as Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi al Qur`an.
  3. Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dalam hal ini kita meruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al habrul al bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
  4. Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam meruju’ kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha bin Abi Rabah, al Hasan al Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
  5. Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa al Qur`an dan as Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan al Qur`an semata-mata hanya dengan fikiran (akal), maka (hukumnya) haram”. [Tafsir al Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5]
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:

Firman Allah Ta’ala:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

"Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali".[QS An Nisaa` : 115]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)". [Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

"Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu golongan. Mereka (para sahabat) bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku" .[HR Tirmidzi, no. 2565; al Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat".[HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al ‘Irbadh bin Sariyah].

Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al Kitab, as Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi Ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.



Diringkas dari Tulisan Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari berjudul “Kidah Memahami Al Kitab Dan As Sunnah”.

free blogger template

0 Komentar:

Post a Comment